Di Kedalaman Tujuh Meter: Bagian 2
Kadang aku menyesal kenapa dulu aku memilih masuk SMA lewat jalur prestasi yang membuatku lagi-lagi harus melalui rutinitas sebagai atlet renang perwakilan sekolah. Apalagi awal tahun begini, ketika seleksi O2SN sedang gencar-gencarnya dilaksanakan di tingkat kecamatan, jadwal latihanku menjadi tiap hari; pagi dan sore, mengambil masing-masing satu jam pelajaran pertama dan terakhir. Aku bukannya capek latihan gaya dada atau gaya kupu setiap hari, aku lebih capek mandi berkali-kali dalam satu hari.
Untungnya kolam latihan yang ditentukan pelatihku tidak terlalu jauh dari sekolah, hanya empat menit naik motor, di kolam renang pendidikan milik universitas di kota Jogja. Jadwal latihanku pukul tujuh, namun hari ini terpaksa aku majukan jadi pukul enam mengingat nanti akan ada ulangan harian di jam pertama sekolah. Tidak apalah, sesekali latihan sendiri tanpa diawasi pelatih sepertinya menyenangkan.
Di bagian karcis, aku tunjukkan surat pengantar dari pelatihku agar tidak usah membayar tiket masuk. Beberapa kali aku panggil petugas karcis, laki-laki paruh baya itu baru mengalihkan pandangannya dari YouTube di ponselnya kepadaku di panggilan ketiga.
“Oh iya, Mas, silakan masuk.” Begitu katanya mempersilakan aku masuk tanpa membayar tiket.
Kosong dan lengang. Kurasa aku menjadi pengunjung pertama.
Aku melirik jam digital besar di dinding menara pengawas, pukul 06.04. Terlambat empat menit yang artinya aku harus lari keliling empat putaran mengelilingi pinggiran kolam sebelum berlatih sesuai porsi latihan pagi ini. Oke lah, hitung-hitung pemanasan melemaskan otot-ototku.
Saat melewati kolam 7 meter di putaran kedua, mata minusku samar-samar melihat benda hitam di tengah kolam. Ah, mungkin aku masih mengantuk, masih berhalusinasi akibat kurang tidur semalam. Putaran ketiga, aku lihat lebih saksama. Rasanya benda itu terlalu besar dan aneh untuk ada di dasar kolam. Aku hentikan lariku sejenak, berjongkok, memasang kacamataku, dan melihat lebih jelas. Bukan benda mati ataupun halusinasi, ITU MANUSIA.
TENGGELAM.
Sepersekian detik aku panik. Sepersekian detik selanjutnya aku sedang terburu-buru menanggalkan sepatu dan pakaianku, menyisakan celana renang yang sudah kupakai dari rumah. Kejadian berikutnya berlangsung sangat cepat, aku bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas. Pada intinya aku melepas pakaianku, segera melompat ke dalam kolam, mendapati perempuan yang sudah tidak sadarkan diri, dan aku tarik ia ke daratan.
Saking paniknya, aku tidak sempat memanggil siapapun dan nekat melakukan misi penyelamatan itu seorang diri (mohon jangan ditiru, kawan). Beruntung ayahku selalu mengajari anak-anaknya pertolongan pertama sehingga setidaknya sekarang tanganku bisa menekan-nekan dada sang perempuan, berusaha resusitasi jantung paru (CPR) memompa jantung agar kembali berdetak.
Ya Tuhan.. Tolong selamatkan perempuan ini… Rapalku di tengah-tengah napas menderu.
Ini sudah napas buatan kelima dan aku sudah CPR dua menit, tetapi ia belum menunjukkan tanda-tanda siuman. Resusitasi tetap aku lakukan, kali ini sambil berteriak memanggil siapapun yang bisa datang. Aku.. hampir menyerah.
Ya Tuhan.. Aku mohon… Mbak, ayo bangun..
Dari kejauhan, sekilas aku melihat 2–3 orang berlari menghampiriku. Baru saja aku bersiap memberi napas buatan ketujuh, perempuan itu terbatuk-batuk dan mengeluarkan air lewat mulutnya.
Terima kasih Tuhan.. Terima kasih..
Ia masih terbatuk setelah aku miringkan kepalanya. Perlahan matanya terbuka dan air dari mulutnya sudah habis dikeluarkan. Tiga petugas tadi segera mengambil alih perempuan yang kini terkulai pucat itu: memanggil ambulans, memberi pertolongan lanjutan, serta menyelimutinya dengan handuk kering.
Aku? Terbaring kepayahan dengan napas terengah-engah.
Energiku terkuras. Energi fisik sekaligus energi mentalku habis. Siapa sangka bocah kelas satu SMA ini harus menghadapi situasi darurat yang selama ini baru dipelajari di rumah? Menghadapi seorang perempuan asing yang nyaris mati tenggelam? Melakukan pertolongan pertama sendirian? Masih syukur Tuhan menyelamatkan perempuan itu. Kalau tidak? Bisa-bisa aku jadi penjahat akibat nekat resusitasi amatiran.
Rasa-rasanya aku tidak sanggup berfungsi normal pasca kejadian hidup-mati ini. Tak peduli lagi dengan latihan renang dan ulangan harian, aku akan pulang dan menenangkan diri di kamarku.
“Mas, sampeyan ikut ambulans ya. Sampeyan yang tau detail
kejadiannya.”
Kata siapa, sih, orang Jogja enggak enakan? Aku bisa menolaknya, kok, dan kembali ke rencana awal untuk pulang ke rumah. Bisa, kok..
“Njih, Pak,” sahutku. Maaf, aku orang Jogja tulen.
Semua ini belum selesai.